PRAHARA
Cerpen oleh djokays
Dia menyadari bahwa anak satu-satunya tidak akan kembali kepadanya lagi. Anaknya sudah memutuskan untuk pergi meninggalkannya. Tentunya ia merasa gagal sebagai seorang ayah yang diberi-tugas oleh almarhumah mendiang istrinya untuk menjaga anak mereka. Sebagai seorang laki-laki yang telah ditinggal mati istri sebenarnya ia masih bisa bertahan dengan keberadaan anaknya, buah cinta ia dengan seseorang yang pernah singgah di relung hatinya yang paling dalam. Namun ia sekarang merasa benar-benar sendiri menjalani hidup. Memang pernah terlintas dalam benaknya bahwa ia berkeinginan untuk mencari pengganti istrinya guna mengisi kembali kekosongan dalam dirinya, namun sulit baginya ia sangat mencintai istrinya.
Di keberadaanya yang sendiri membuat ia seringkali berpikir mengenai saat-saat indah masa-masa lalu yang pasti tidak akan pernah kembali sama, walaupun kembali pastilah tidak akan pernah sama. Hal itu mengingatkan ia pada ungkapan seorang filsuf Yunani yang mengatakan tidak ada sesuatu pun yang dapat diangap sempurna[1]. Tentunya pelaku-pelaku dari kisah-kisah indahnya tidak akan kembali memerankan perannya sebagai istri dan anaknya. Ia terpaksa membiarkan masa lalu dimiliki oleh masa lalu. Kalau toh ia berusaha menghadirkan masa-masa indah masa lalu, hal itu hanya bisa dalam rasa bukan dalam nyata. Sepertinya masa lalu, past tidak akan kembali dan tak bisa dihadirkan dalam masa sekarang, present, Baginya masa akan datang (future) adalah remang-remang ia bahkan tak mampu untuk menggambarkannya. Ia hanya bisa memahami adanya hadiah, present yaitu hari ini . [2]
ÿÿÿ
Setiap hari di waktu yang hampir persis sama ia selalu memandang keluar pintu gerbang rumahnya. Ia nampaknya sangat merindukan anaknya. Tepat dihadapan matanya beringin besar yang sekian tahun yang lalu sudah menghiasi halaman depan rumahnya masih setia berdiri dengan anggunnya. Akarnya sudah sangat panjang menjulur kemana-mana seakan-akan dengan keangkuhannya hendak meresapi dan menghisap habis seluruh sari-sari makanana yang ada dalam tanah.
Setelah berpuas-puas memandangi suasana halaman depan rumahnya. Dari beranda rumah ia masuk ke ruang tamu keluarga yang penuh dihiasi lukisan-lukisan buah karyanya. Terbayang masa-masa nuansa indah kehidupan rumah tangganya.
ÿÿÿ
Prahara bukan hanya seorang anak kecil lagi baginya semenjak di usia remaja menjelang dewasanya ia, Prahara lebih menampakkan sosok orang muda sebagaimana ia ayahnya. Secara phisik ia, Prahara hampir sempurna menyerupai ayahnya. Kalau ingin tetap dilihat perbedaannya hanya kumisnya yang membedakan mereka. Kumis Prahara lebih tipis dibandingkan dengan kumis ayahnya. Dan banyak hal dalam wataknya yang hampir tidak bisa dibedakan. Kekerasannya pada suatu keinginan membuat ia, Prahara tidak pernah putus asa untuk meraihnya. Itu ia buktikan dengan usahanya untuk meraih gelar sarjana. Ia berusaha sangat keras terhadap dirinya. Ia membuat dirinya larut pada schedule hariannya, begitu detil ia menulis program kerja meraih cita-cita. Dimulai dari bangun pagi hingga istirahat malam, begitu rapi ia menjadi
ÿÿÿ
Prahara bertumbuh dewasa memang berkat usaha Birowo, ayahandanya. Ibunda Prahara meninggal ketika Prahara berumur sebelas belas tahun. Ibundanya hanya bisa mendampinginya menikmati masa anak-anak, bahkan ia, ibundanya belum sempat mendampingi Prahara kecil memasuki masa remaja.
Kala itu, ketika Ibundanya meninggal dunia Prahara baru saja memasuki bulan kesembilanya duduk di kelas
Sikap pasif dalam diri Prahara kemudian berubah ketika ia memasuki masa Sekolah Menengah Pertama. Dan peran ganda Birowo selaku ayah merangkap ibunya mulai Prahara rasakan. Memang Birowo sejak sepeninggal istrinya ia menjadi lebih memperhatikan Prahara anaknya.
ÿÿÿ
Sebagai seorang seniman ia termasuk seorang yang cukup disegani oleh rekan rekan sesama seniman. Ia cukup toleran dan ramah terhadap rekan-rekannya. Bahkan rekan-rekannya sering kali datang untuk berbagi problem kehidupan dengannya. Ia sering berusaha membantu memecahkan masalah-masalah mereka. Ia memang banyak tahu akan segala hal, namun tak pernah ada terlintas dalam benaknya untuk mengurui rekan-rekannya. Prinsipnya kuat namun tidak kaku, ia tidak pernah memaksakan kehendaknya. Ia memikirkan terlebih dahulu setiap demi kata yang ia akan ucapkan ia tidak ingin menyakitkan hati rekannya. Dihadapan rekan-rekan sesama seniman ia terlihat bijak.
Birowo mempunyai galeri yang dimiliki dari usahanya menuangkan buah pikirannya melalui sapuan kuasnya yang begitu penuh arti. Perjalanan hidupnya dalam mengeluti dunia kesenimannya Ia lalui sebagai seorang seniman lukis jalanan. Hingga suatu hari seorang Turis Belanda melihat hasil karya lukisannya dan Turis Belanda itu sangat tertarik dengan karya lukisnya dan ia menawarkan tempat yang bisa dipakai Birowo untuk menjadi galeri pribadi yang sekarang ini ditempatinya.
Birowo banyak sekali melukis situasi Indonesia di Jaman Belanda, Jaman Jepang dan Jaman Kemerdekaan.
Masa kecil Birowo di habiskan di sebuah
ÿÿÿ
Kedatangan Prahara tepat pukul dua belas tengah malam menjelang pagi, membuat sang Ayah, Birowo sangat terkejut. Pasalnya sang Ayah merasa yakin benar bahwa anaknya tidak akan pernah kembali, setelah pertengkaran yang begitu hebat antara mereka berdua.
Masih terngiang dipendengaran Birowo ketika Prahara mengucapkan serangkaian kata dengan nada yang sangat tinggi dibarengi dengan kekesalan yang sangat sengit:
“Ingat yah !” katanya, “ Aku tidak akan pulang lagi. Aku benci ayah! Apa yang ayah lakukan terhadapku itu tidak bisa dibenarkan. Beraninya ayah merusak kepercayaan yang sudah kita bangun selama ini, yah ?”
Dengan penuh penyesalan Birowo hanya tertunduk, menanggung rasa bersalah yang dalam. Ia, Birowa tidak diberi kesemptan untuk menjelaskan duduk perkaranya pada Prahara.
ÿÿÿ
Tepat dihadapan Birowo ada seorang anak muda basah kuyup bertubuh tinggi, berambut sedikit ikal serta bertahi lalat dintara bibir dan hidungnya yang bangir. Anak muda itu tak lain dan tak bukan adalah Prahara. Prahara berdiri di depan pintu gerbang sambil tangannya menempel terus pada “bel”. Ia sepertinya kedinginan tertimpa rintik-rintik hujan yang telah membasahi sekujur tubuhnya.
Dalam keraguannya ia, Prahara merasa bel itu tidak patut dipergunakan baginya, mengingat kata-kata terakhir yang ia sempat katakan pada ayahnya. Ia malu menelan ludahnya sendiri.
“Mengapa aku begitu keras kepala…… mengapa kata-kata kasar itu harus keluar dari mulutku.. aku begitu menyesal….”
Tapi apalah artinya penyesalan yang sudah terlanjur dan itupun terjadi hampir
Prahara terus memandang ayahandanya setelah Birowo membukakan pintu depan baginya. Prahara tetap terdiam. Birowo masih belum bisa mengenalinya siapa laki-laki yang berdiri dihadapannya. Tampak keterkejutan diraut wajah tua Birowo disaat ia sedikit mulai mengenali siapa sebenarnya laki-laki dewasa yang berdiri dihadapannya, bertubuh tinggi, berambut sedikit ikal serta bertahi lalat dintara bibir dan hidungnya yang bangir, Ia tak lain dan tak bukan Prahara anaknya. Ia langsung merangkul dan menciumi wajah Prahara yang tertunduk diam. Birowo tak tahan menahan haru. Keriduannya selama
ÿÿÿ
Sebenarnya Birowo sudah pernah mengatakan pada Prahara bahwa mereka, Prahara dengan perempuan yang pernah hidup bersama itu . Mereka bisa tinggal di rumah dimana Birowo tinggali. Toh rumah itu cukup besar. Banyak kamar. Lagi pula Birowo pun lebih sering berada di Galerinya. Waktu itu Birowo belum begitu mengenal siapa sebenarnya Putri , nama perempuan yang di nikahi Prahara anaknya.
Memang Birowo tidak begitu setuju dengan hubungan mereka berdua. Namun ia tidak mengatakannya pada Prahara. Ia tidak ingin melukai hati putranya yang satu-satunya itu. Ia bahkan menawarkan mereka untuk tinggal saja di rumahnya itu.
Birowo melihat ada yang aneh dengan perempuan yang duapuluh tahun lalu dibawa oleh putranya. Dari tatapan mata nya Birowo melihat ada kepura-puraan serta
Mereka sempat tinggal selama beberapa tahun. Dalam kebersamaan Putri, Prahara dan Birowo, awalnya serba baik. Sebagai mantu Putri diperlakukan Birowo dengan baik bahkan sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Hingga suatu hari Birowo memergoki Putri selingkuh dengan seorang laki-laki yang bukan putranya.
Sebenarnya Birowo ingin mengatakan terus terang pada Prahara, guna menutupi aibnya, Putri berusaha merayu Birowo dengan berbagai cara. Ia, Putri tahu Birowo pun seorang laki-laki. Tentunya, ia sesekali masih membutuhkan wanita. Birowo pun akhirnya masuk dalam perangkap Putri. Awalnya Putri ingin sekali dilukis telanjang. Birowo tidak ingin.
Dan juga Birowo sempat memergoki Putri berselingkuh dengan beberapa laki-laki. Ia pun merasa perlu mengatakan pada putra tercintanya. Mengingat, Prahara begitu sibuk dengan pekerjaannya di suatu kantor apalagi ia sering tugas luar
ÿÿÿ
Prahara dan Putri pergi meninggalkan Birowo. Mereka memutuskan untuk pindah ke
Hari itu adalah hari terakhir mereka saling bertemu, begitupun Birowo dengan mantunya. Ternyata kehidupan Prahara dan Putri tidak seharmonis yang diharapkan. Kepercayaan Prahara pada Putri harus ditebus dengan kekecewaan. Retaklah hubungan mereka. Kepercayaan yang ditanam hingga dalam menimbulkan rasa sakit yang kuat saat kepercayaan itu harus dicabut ke permukaan. Cintanya pada Putri membutakan kenyataan pahit, Prahara pun merasakan pahitnya kekecewaan
[1] . Filsuf Yunani, Herakleitos beranggapan bahwa dalam dunia alamiah tidak ada sesuatu pun yang tetap. Tidak ada sesuatupun yang dianggap definitive atau sempurna. Segala sesuatu yang ada senantiasa “ sedang men jadi” Terkenallah ucapan panta rhei, atinya : semuanya mengalir. Sebagaimana air sungai senantiasa mengalir terus, demkian pun dalam dunia jasmani tidak ada sesuatu yang tetap. Semuanya berubah terus menerus
[2] Dalam Grammar, tata bahasa inggris tempus atau tenses (waktu ) memainkan peranan penting dan pada dasarnya dibagi dalam tiga pembagian waktu yaitu past, present dan future, khusus kata present itu sendiri mempunyai arti hadiah, ada maupun hadir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
You Can give your comment for my posting and thanks of the comment.