Sabtu, 29 November 2008

PRAHARA

Cerpen oleh djokays

Dia menyadari bahwa anak satu-satunya tidak akan kembali kepadanya lagi. Anaknya sudah memutuskan untuk pergi meninggalkannya. Tentunya ia merasa gagal sebagai seorang ayah yang diberi-tugas oleh almarhumah mendiang istrinya untuk menjaga anak mereka. Sebagai seorang laki-laki yang telah ditinggal mati istri sebenarnya ia masih bisa bertahan dengan keberadaan anaknya, buah cinta ia dengan seseorang yang pernah singgah di relung hatinya yang paling dalam. Namun ia sekarang merasa benar-benar sendiri menjalani hidup. Memang pernah terlintas dalam benaknya bahwa ia berkeinginan untuk mencari pengganti istrinya guna mengisi kembali kekosongan dalam dirinya, namun sulit baginya ia sangat mencintai istrinya.

Di keberadaanya yang sendiri membuat ia seringkali berpikir mengenai saat-saat indah masa-masa lalu yang pasti tidak akan pernah kembali sama, walaupun kembali pastilah tidak akan pernah sama. Hal itu mengingatkan ia pada ungkapan seorang filsuf Yunani yang mengatakan tidak ada sesuatu pun yang dapat diangap sempurna[1]. Tentunya pelaku-pelaku dari kisah-kisah indahnya tidak akan kembali memerankan perannya sebagai istri dan anaknya. Ia terpaksa membiarkan masa lalu dimiliki oleh masa lalu. Kalau toh ia berusaha menghadirkan masa-masa indah masa lalu, hal itu hanya bisa dalam rasa bukan dalam nyata. Sepertinya masa lalu, past tidak akan kembali dan tak bisa dihadirkan dalam masa sekarang, present, Baginya masa akan datang (future) adalah remang-remang ia bahkan tak mampu untuk menggambarkannya. Ia hanya bisa memahami adanya hadiah, present yaitu hari ini . [2]

ÿÿÿ

Setiap hari di waktu yang hampir persis sama ia selalu memandang keluar pintu gerbang rumahnya. Ia nampaknya sangat merindukan anaknya. Tepat dihadapan matanya beringin besar yang sekian tahun yang lalu sudah menghiasi halaman depan rumahnya masih setia berdiri dengan anggunnya. Akarnya sudah sangat panjang menjulur kemana-mana seakan-akan dengan keangkuhannya hendak meresapi dan menghisap habis seluruh sari-sari makanana yang ada dalam tanah.

Setelah berpuas-puas memandangi suasana halaman depan rumahnya. Dari beranda rumah ia masuk ke ruang tamu keluarga yang penuh dihiasi lukisan-lukisan buah karyanya. Terbayang masa-masa nuansa indah kehidupan rumah tangganya.

Kemudian Ia tatap sebuah bingkai photo keluarga yang sudah nampak usang dimakan usia. Jelas masih terlihat ia bersama Prahara anak mereka satu-satunya sedang berdiri diantara Nina istrinya. Kala itu Prahara berusia lima tahun, ia seperti melihat gambaran masa kecil dirinya dalam diri si kecil Prahara. Pandangannya terus memperhatiankan photo-photo lainnya, pada akhirnya, kedua belah matanya tertuju pada sebuah photo terakhir ia bersama Prahara. Photo itu diambil sebulan sebelum Prahara memutuskan pergi meninggalkannya. Prahara merangkul erat dirinya sambil memegang kail ikan yang memang mereka dapat saat mereka memancing di salah satu pulau di kepuluan seribu.

ÿÿÿ

Prahara bukan hanya seorang anak kecil lagi baginya semenjak di usia remaja menjelang dewasanya ia, Prahara lebih menampakkan sosok orang muda sebagaimana ia ayahnya. Secara phisik ia, Prahara hampir sempurna menyerupai ayahnya. Kalau ingin tetap dilihat perbedaannya hanya kumisnya yang membedakan mereka. Kumis Prahara lebih tipis dibandingkan dengan kumis ayahnya. Dan banyak hal dalam wataknya yang hampir tidak bisa dibedakan. Kekerasannya pada suatu keinginan membuat ia, Prahara tidak pernah putus asa untuk meraihnya. Itu ia buktikan dengan usahanya untuk meraih gelar sarjana. Ia berusaha sangat keras terhadap dirinya. Ia membuat dirinya larut pada schedule hariannya, begitu detil ia menulis program kerja meraih cita-cita. Dimulai dari bangun pagi hingga istirahat malam, begitu rapi ia menjadi kan menit demi menit diisinya dengan aktivitas yang berguna. Kesadarannya sangat tinggi dan berjiwa konsekwen dengan jadwal yang sudah ia buat.

ÿÿÿ

Prahara bertumbuh dewasa memang berkat usaha Birowo, ayahandanya. Ibunda Prahara meninggal ketika Prahara berumur sebelas belas tahun. Ibundanya hanya bisa mendampinginya menikmati masa anak-anak, bahkan ia, ibundanya belum sempat mendampingi Prahara kecil memasuki masa remaja.

Kala itu, ketika Ibundanya meninggal dunia Prahara baru saja memasuki bulan kesembilanya duduk di kelas lima Sekolah Dasar. Prahara sangat terpukul karena kepergian ibundanya begitu cepat. Prestasi belajarnya menurun drastis. Selama empat tahun dari kelas satu sampai kelas 4 berturut-turut ia menduduki rangking pertama di kelasnya. Namun prestasinya semakin menurun ketika ia memasuki tahun kelima dan keenam. Nilai-nilai mata pelajarannya jauh dari bagus. Perubahan karakter selama dua tahun setelah kepergian ibunya sangatlah berbeda. Perubahan sikap dari aktif menjadi pasif dalam merespon sesuatu, memuat Birowo ayahandanya sangat khawatir.

Sikap pasif dalam diri Prahara kemudian berubah ketika ia memasuki masa Sekolah Menengah Pertama. Dan peran ganda Birowo selaku ayah merangkap ibunya mulai Prahara rasakan. Memang Birowo sejak sepeninggal istrinya ia menjadi lebih memperhatikan Prahara anaknya.

ÿÿÿ

Sebagai seorang seniman ia termasuk seorang yang cukup disegani oleh rekan rekan sesama seniman. Ia cukup toleran dan ramah terhadap rekan-rekannya. Bahkan rekan-rekannya sering kali datang untuk berbagi problem kehidupan dengannya. Ia sering berusaha membantu memecahkan masalah-masalah mereka. Ia memang banyak tahu akan segala hal, namun tak pernah ada terlintas dalam benaknya untuk mengurui rekan-rekannya. Prinsipnya kuat namun tidak kaku, ia tidak pernah memaksakan kehendaknya. Ia memikirkan terlebih dahulu setiap demi kata yang ia akan ucapkan ia tidak ingin menyakitkan hati rekannya. Dihadapan rekan-rekan sesama seniman ia terlihat bijak.

Birowo mempunyai galeri yang dimiliki dari usahanya menuangkan buah pikirannya melalui sapuan kuasnya yang begitu penuh arti. Perjalanan hidupnya dalam mengeluti dunia kesenimannya Ia lalui sebagai seorang seniman lukis jalanan. Hingga suatu hari seorang Turis Belanda melihat hasil karya lukisannya dan Turis Belanda itu sangat tertarik dengan karya lukisnya dan ia menawarkan tempat yang bisa dipakai Birowo untuk menjadi galeri pribadi yang sekarang ini ditempatinya.

Birowo banyak sekali melukis situasi Indonesia di Jaman Belanda, Jaman Jepang dan Jaman Kemerdekaan. Sebenarnya Ia hanya merekam perkataan ayahnya. Ayahnya banyak mengatakan peristiwa sekitar tiga jaman itu. Ia sendiri lahir di saat Bangsa Indonesia tengah meniti tahun-tahun menikmati kemerdekaannya. Tepatnya disaat Bangsa Indonesia sedang mengalami guncangan hebat. Kala itu terjadi pembrontakan yang dilakukan oleh suatu organisasi politik yang cukup besar anggotanya. Konon sempat terbersit khabar bahwa peristiwa itu meminta korban meninggalnya anak bangsa hingga lebih sejuta orang. Belum lagi derita yang ditanggung oleh anak-cucu mereka yang hampir dikucilkan dalam masyarakat akibat sikap pemerintah yang berkuasa saat itu. Pemerintah yang berkuasa tetap berusaha ingin menghancurkan hingga anak keturunan pengikut partai politik yang dicurigai akan merongrong wibawa pemerintahan mereka.

Masa kecil Birowo di habiskan di sebuah kota yang dikenal dengan sebagai kota Perak dimana banyak anak-anak muda mempunyai keterampilan membuat kerajinan tangan yang terbuat dari perak, lebih jelasnya di suatu pojok benteng di Yogyakarta. Birowo merasa Ibukota lebih membawa tantangan dibandingkan dengan kota tempat kelahirannya. Sepeninggal kedua orang tuanya dan setelah menyerahkan segala urusan mengenai kepemilikan rumah beserta tanah peninggalan kedua orang tuanya kepada adiknya yang cuma seorang, Birowo memutuskan untuk meninggalkan kota kelahirannya untuk merantau ke Ibu kota.

ÿÿÿ

Kedatangan Prahara tepat pukul dua belas tengah malam menjelang pagi, membuat sang Ayah, Birowo sangat terkejut. Pasalnya sang Ayah merasa yakin benar bahwa anaknya tidak akan pernah kembali, setelah pertengkaran yang begitu hebat antara mereka berdua.

Masih terngiang dipendengaran Birowo ketika Prahara mengucapkan serangkaian kata dengan nada yang sangat tinggi dibarengi dengan kekesalan yang sangat sengit:

“Ingat yah !” katanya, “ Aku tidak akan pulang lagi. Aku benci ayah! Apa yang ayah lakukan terhadapku itu tidak bisa dibenarkan. Beraninya ayah merusak kepercayaan yang sudah kita bangun selama ini, yah ?”

Dengan penuh penyesalan Birowo hanya tertunduk, menanggung rasa bersalah yang dalam. Ia, Birowa tidak diberi kesemptan untuk menjelaskan duduk perkaranya pada Prahara.

ÿÿÿ

Tepat dihadapan Birowo ada seorang anak muda basah kuyup bertubuh tinggi, berambut sedikit ikal serta bertahi lalat dintara bibir dan hidungnya yang bangir. Anak muda itu tak lain dan tak bukan adalah Prahara. Prahara berdiri di depan pintu gerbang sambil tangannya menempel terus pada “bel”. Ia sepertinya kedinginan tertimpa rintik-rintik hujan yang telah membasahi sekujur tubuhnya.

Dalam keraguannya ia, Prahara merasa bel itu tidak patut dipergunakan baginya, mengingat kata-kata terakhir yang ia sempat katakan pada ayahnya. Ia malu menelan ludahnya sendiri.

Mengapa aku begitu keras kepala…… mengapa kata-kata kasar itu harus keluar dari mulutku.. aku begitu menyesal….

Tapi apalah artinya penyesalan yang sudah terlanjur dan itupun terjadi hampir lima belas tahun yang lalu.

Prahara terus memandang ayahandanya setelah Birowo membukakan pintu depan baginya. Prahara tetap terdiam. Birowo masih belum bisa mengenalinya siapa laki-laki yang berdiri dihadapannya. Tampak keterkejutan diraut wajah tua Birowo disaat ia sedikit mulai mengenali siapa sebenarnya laki-laki dewasa yang berdiri dihadapannya, bertubuh tinggi, berambut sedikit ikal serta bertahi lalat dintara bibir dan hidungnya yang bangir, Ia tak lain dan tak bukan Prahara anaknya. Ia langsung merangkul dan menciumi wajah Prahara yang tertunduk diam. Birowo tak tahan menahan haru. Keriduannya selama lima belas tahun tertuang pada sepengal kisah haru. Begitupun dengan Prahara, tak kuat menahan haru berkecamuk dalam dadanya yang sesak dengan perasaan bersalah kepada ayahandanya. Ia sadari sekarang betapa mereka pun sebenarnya mereka saling membutuhkan, saling mengisi dan saling merindukan kebersamaan.


ÿÿÿ

Sebenarnya Birowo sudah pernah mengatakan pada Prahara bahwa mereka, Prahara dengan perempuan yang pernah hidup bersama itu . Mereka bisa tinggal di rumah dimana Birowo tinggali. Toh rumah itu cukup besar. Banyak kamar. Lagi pula Birowo pun lebih sering berada di Galerinya. Waktu itu Birowo belum begitu mengenal siapa sebenarnya Putri , nama perempuan yang di nikahi Prahara anaknya.

Memang Birowo tidak begitu setuju dengan hubungan mereka berdua. Namun ia tidak mengatakannya pada Prahara. Ia tidak ingin melukai hati putranya yang satu-satunya itu. Ia bahkan menawarkan mereka untuk tinggal saja di rumahnya itu.

Birowo melihat ada yang aneh dengan perempuan yang duapuluh tahun lalu dibawa oleh putranya. Dari tatapan mata nya Birowo melihat ada kepura-puraan serta Ada yang lain dengan wanita itu. Ia begitu kuat mendominasi Prahara.

Mereka sempat tinggal selama beberapa tahun. Dalam kebersamaan Putri, Prahara dan Birowo, awalnya serba baik. Sebagai mantu Putri diperlakukan Birowo dengan baik bahkan sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Hingga suatu hari Birowo memergoki Putri selingkuh dengan seorang laki-laki yang bukan putranya.

Sebenarnya Birowo ingin mengatakan terus terang pada Prahara, guna menutupi aibnya, Putri berusaha merayu Birowo dengan berbagai cara. Ia, Putri tahu Birowo pun seorang laki-laki. Tentunya, ia sesekali masih membutuhkan wanita. Birowo pun akhirnya masuk dalam perangkap Putri. Awalnya Putri ingin sekali dilukis telanjang. Birowo tidak ingin.

Dan juga Birowo sempat memergoki Putri berselingkuh dengan beberapa laki-laki. Ia pun merasa perlu mengatakan pada putra tercintanya. Mengingat, Prahara begitu sibuk dengan pekerjaannya di suatu kantor apalagi ia sering tugas luar kota. Birowo awalnya ingin bicara baik-baik dengan Prahara. Namun cinta Prahara pada Putri dan kepercayaanya yang begitu kuat ia malah marah pada Birowo. Birowo dianggapnya sudah bosan dengan keberadaan mereka bahkan ia, Birowo dianggapnya mengada-ada dengan mengatakan hal seperti itu. Di mata Prahara Putri adalah segalanya, ia bahkan sama sekali tidak melihat kekurangan putri selama ia mengenal dan hidup bersamanya.

ÿÿÿ

Prahara dan Putri pergi meninggalkan Birowo. Mereka memutuskan untuk pindah ke kota kelahiran Birowo. Mereka pun pergi meninggalkan Birowo. Alasan waktu itu memang tepat Prahara mendapat tugas di Yogya, dan merekapun membawa semua barang-barangnya.

Hari itu adalah hari terakhir mereka saling bertemu, begitupun Birowo dengan mantunya. Ternyata kehidupan Prahara dan Putri tidak seharmonis yang diharapkan. Kepercayaan Prahara pada Putri harus ditebus dengan kekecewaan. Retaklah hubungan mereka. Kepercayaan yang ditanam hingga dalam menimbulkan rasa sakit yang kuat saat kepercayaan itu harus dicabut ke permukaan. Cintanya pada Putri membutakan kenyataan pahit, Prahara pun merasakan pahitnya kekecewaan



[1] . Filsuf Yunani, Herakleitos beranggapan bahwa dalam dunia alamiah tidak ada sesuatu pun yang tetap. Tidak ada sesuatupun yang dianggap definitive atau sempurna. Segala sesuatu yang ada senantiasa “ sedang men jadi” Terkenallah ucapan panta rhei, atinya : semuanya mengalir. Sebagaimana air sungai senantiasa mengalir terus, demkian pun dalam dunia jasmani tidak ada sesuatu yang tetap. Semuanya berubah terus menerus

[2] Dalam Grammar, tata bahasa inggris tempus atau tenses (waktu ) memainkan peranan penting dan pada dasarnya dibagi dalam tiga pembagian waktu yaitu past, present dan future, khusus kata present itu sendiri mempunyai arti hadiah, ada maupun hadir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

You Can give your comment for my posting and thanks of the comment.

Ads

Wikipedia Search

YouTube Search

http://imgcash6.imageshack.us/img397/4715/youtubelogokr3.png